POLITIK ALIRAN:
AGAMAIS BISA JUGA NASIONALIS ?
Pengantar
Perdebatan mengenai Politik Aliran (Political Cleavages) menghiasi dinamika Politik Indonesia pada tahun 1950-an dan kemudian marak kembali pada masa Post Soeharto. Perdebatan mengenai Politik Aliran pada tahun 1950-an dengan pada masa 1990-an akhir, memiliki dimensi yang sangat berbeda baik di tingkat fenomena maupun tingkat aplikasi teoretis dan aplikasi pendekatan ilmiahnya. Sudah barang tentu, karena pada tahun 1950-an, rata-rata pendekatan teoretisnya didasarkan atas Trikotomi Cliford Geertz (Santri – Abangan – Priyayi) yang belakangan pendekatan ini menjadi tidak pas untuk konteks Indonesia kontemporer.
Memang, Trikotomi Geertz muncul pada tahun 1960-an, namun penjelasan mengenai fenomena politik aliran tahun 1950-an, terutama pada PEMILU 1955 sangat kental dengan trikotomi tersebut. Pada dasarnya, Islam dibagi atas Islam Santri yang taat dalam menjalankan kewajiban Agama dan juga dalam Politik menjadikan Islam sebagai sumber utama ideologi dan penggerak Partai. Kelompok inilah yang kemudian menjadi penggerak utama Partai-Partai berbasis Islam dalam masa Pemilihan Umum 1955. Sementara kategori abangan, adalah kelompok Islam yang tidak menempatkan ajaran Agama sebagai orientasi sosial politiknya, dan merekalah yang banyak menggerakkan Partai besar lainnya: PNI dan PKI. Kelompok abangan yang berada pada posisi kelas atas mewujudkan nilai politik mereka dalam PNI. Perbedaan PNI dan PKI secara kultural terletak pada kepercayaan mereka dan pada perbedaan kelas konstitue, meski ketika berhadapan dengan Islam dan partai Islam, mereka merupakan kekuatan yang relatif homogen.
Bagaimana kemudian menjelaskan fenomena tahun 1990-an dan bahkan kemudian kalkulasi politik memasuki tahun 2009 dan implikasinya secara sosial dan politik? Tulisan ini mencoba untuk mencermati realitas dan dinamika politik ini sebagai sesuatu yang menarik untuk terus dikaji.
Politik Aliran: Fenomena Transformasi?
Kelompok manakah yang terutama mendukung kepemimpinan Presiden BJ Habiebie meski legitimasinya kurang hukum? Mudah ditebak, karena ini jugalah salah satu tugas kelas menengah Indonesia yang tidak tuntas dijalankan pada akhir tahun 1990-an: Kekuatan Islam. Justru karena kekuatan utama inilah, maka regime Orde Baru tidak secara telak ditumbangkan dan sejarah mencatat, salah satu perlambatan konsolidasi demokrasi Indonesia, adalah karena regime autoritarian Orde Baru memang masih secara kokoh menggenggam sendi-sendi kehidupan politik Indonesia post Soeharto.
Ada apa? Atau, ada apa gerangan dengan Politik aliran pada tahun 1990-an? Adakah sesuatu yang berubah? Atau, kombinasi kepentingan apakah yang sedang berubah gerangan?
Beberapa kalangan menyebutkan, bahwa Politik Aliran kehilangan signifikansinya pasca Soeharto. Alasannya adalah, melalui Golongan Karya, kelompok santri di kalangan Islam, telah menemukan persemaiannya di GOLKAR lewat fasilitas dan pendidikan di paroh akhir kekuasaan Soeharto (Analisis Kompas Online, Maret 2004). Santrinisasi kalangan Islam terjadi melalui media pendidikan dan membuat Partai Islam menjadi kehilangan daya tarik, dan terbukti, Partai Islam kalah di Pemilihan Umum 1999 dan 2004. Kutipan analisis tadi diatas: ”Penolakan terhadap partai berasas Islam kelihatannya genuine. Mereka tidak kembali ke partai Islam ketika iklim politik jauh lebih bebas. Mereka tidak ditekan secara politik untuk membangun partai berasas Pancasila”. Anak-anak santri Islam, telah mengalami Pancasilaisasi dan akibatnya Politik Aliran kehilangan signifikansinya. Benarkah demikian?
Tercatat pada tahun 2004, setidaknya ada Kuntowijoyo dan Lance Castle yang mengaminkan bahwa Politik Aliran telah kehilangan signifikansinya. Kuntowijoyo (Kompas 7 Juli 2004) menyebut bahwa, pertentangan bukan lagi ditingkat ideologi, tetapi ditingkat aktualitasnya, Politik Indonesia menuju apa yang disebutnya ”antropo-sentrisme” dari ”pragmatisme religius”. Manusia ditempatkan pada pusat dari aktifitas politik dan karenanya, identitas religius menjadi menipis. Lance Castle (Kompas 9 Juli 2004) menulis dengan gaya dan pendekatan hampir serupa, dia menegaskan bahwa realitas politik Indonesia kurang memberi angin lagi bagi Politik Aliran. Selain itu, harus dipandang, bahwa sejak 1971, Politik Aliran relatif mengalami diskontunuitas (ketidaksinambungan) setelah Pemerintah Orde Baru memaksakan ideologi Pancasila, tunggal, sebagai ideologi semua Partai Politik. Apakah dengan demikian, maka Kuntowijoyo dan Lance Castle mengira, bahwa sejak saat itu sudah tamat politik aliran?
Memang benar, GOLKAR membangun sebuah Partai Besar dan modern dengan pendekatan ideologis yang samar, tetapi, baik PPP maupun PDI masih tetap dibangun sebagai kanalisasi pendekatan politik aliran. Dan, meski proyek Pancasila dilakukan secara massif, tetapi proses identifikasi diri berdasarkan pendekatan religius, tidak otomatis raib dari haribaan Ibu Pertiwi. Apalagi, karena meski paroh terakhir Orde Baru seakan memberi konsesi ”penindasannya” atas Islam secara Politik, juga proses pendidikan telah melahirkan banyak sekali pergeseran sosial dan budaya di masyarakat. Pendekatan Santri-Abangan dalam identifikasi kelompok jadi sulit, karena banyak kelas abangan ”NU” yang secara hebat melintasi kategori santri tanpa kehilangan jatidirinya. Artinya, tersedia bahan bakar memadai bagi sebuah pendekatan baru Politik Aliran.
Maka, ketika pada tahun 2000, tepatnya usulan amandemen UUD 45 muncul memasukkan kembali Piagam Jakarta, maka banyak yang tersentak. Demikian juga ketika tahun 2003, usulan di SISDIKNAS soal pendidikan agama sukses, dan sejumlah agenda politik aliran, khususnya Islam tampil ke permukaan, hanya satu hal yang bisa dikemukakan: Bahwa amunisi Politik Aliran masih tetap kuat dan bahkan semakin menguat dewasa ini. Artinya, Politik Aliran bahkan telah mengalami transformasi dan tampil di pentas politik Indonesia dalam tampilan yang lebih baru dan lebih sifisticated.
Agamais Non Nasionalis?
Tentu pertanyaan sekarang adalah, apakah dengan demikian kelompok yang melakukan identifikasi religius dalam konteks Politik Indonesia bertentangan dengan Nasionalisme dan Kebangsaan? Sebuah pertanyaan telak, menantang dan bahkan sangat relevan. Identifikasi pada masa lalu, jika melihat Kuntowojoyo, memang pernah sangat kultural dan religius (semisal NU) atau ada juga modernis-religius (Muhhamadiyah). Tetapi, identifikasi semacam itu menjadi kurang relevan ketika lintas batas kategori itu menjadi kabur (blurr) akibat transformasi masyarakat Indonesia dan kemajuan pendidikan.
Masih haruskah mempertentangkan Agama dan Nasionalisme? Pada titik manakah seharusnya keduanya saling melengkapi (subtitusi)? Inilah titik krusial sejarah politik Indonesia kontemporer (masa kini). Pada dasarnya, agama agama di Indonesia adalah pengawal moralitas Bangsa dengan fasilitasi kehidupan perorangan yang diabdikan bagi kepentingan bersama. Sehingga, seharusnya ranah agama berada di ranah pribadi, bukannya di ranah publik. Sayangnya, Islam dan Agama lain di Indonesia berbeda di titik ini. Islam, terutama bagi mereka yang memperjuangkan formalisasi agama, memandang Islam sebagai juga mengatur ranah publik. Dan itulah argumentasi mengapa Syariah Islam tetap absah sebagai perjuangan kelompok ini, meski rujukan yang mana, tetapi sulit diketengahkan.
Sejauh ini, jika agama dimanfaatkan sebagai sumber spiritualitas dan tidak dipaksakan diformalisasi, maka kompabilitasnya (persesuainnya) dengan Kebangsaan tetaplah sangat tinggi. Sebaliknya, jika dipaksakan diformalisasi, maka pertentangannya dengan Kebangsaan akan sangat tinggi, karena sejak awalnya, Indonesia adalah sebuah Bangsa yang sangat plural. Pluralisme itu bukan hanya di orientasi Politik, Adat, Bahasa, Golongan, Suku tetapi juga bahkan agama. Maka, jika kemudian pemaksaan sebuah nilai agama masuk dalam proses formalisasi kehidupan bersama, bisa dipastikan penolakannya akan sangat tinggi dan mengingkari fakta kebersamaan sebagai satu Bangsa. Alias, Kebangsaan akan mengalami degradasi signifikan dan bakal mengarah ke degradasi perasaan sebagai satu Bangsa, dan ujungnya adalah apa yang banyak disebut orang sebagai the end of Indonesia. Tentunya, banyak yang tidak mengharapkan bencana seperti ini dihadapi Bangsa Indonesia.
Karena memang, sejarah politik banyak Bangsa mengajarkan, bahwa Agama sebaiknya tidak dipaksakan untuk dijadikan alat pengatur kehidupan kebersamaan. Tetapi, digunakan bagi manusia secara pribadi dengan mengajarkan cara menemukan jalan dan cara hidup yang tepat sesuai dengan ajaran agama-masing-masing. Pemaksaan cara dan jalan satu agama melalui formalisasi dalam kehidupan bersama, secara otomatis secara serius menimbulkan diskriminasi. Siapapun tidak ingin terdiskriminasi dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara, karena itulah justru formalisasi itu akan berakibat pada degradasi kehidupan Kebangsaan.
Jika nilai-nilai luhur keagamaan dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi pencarian jalan dan model pengelolahan sebuah Bangsa tanpa memaksakan cara dan sistem menjalankannya, tetapi menyerahkan kepada mekanisme politik untuk mengerjakannya, maka Agama justru memperkuat kehidupan Politik. Tetapi, jika pemaksaan ide dan cara sekaligus dilaksanakan melalui formalisasi perundangan, peraturan daerah atau keputusan Gubernur (dewasa ini sudah hampir 250 produk di Indonesia) maka arah kehancuran dan diskriminasi serta ancaman disintegrasi bangsa semakin membayang.
Pada akhirnya, memang tergantung mereka yang bermain di ranah publik: Apakah politisi, pemimpin agama, pemimpin formal, aktivis, atau siapapun juga. Ingin melanggengkan pluralisme yang menjadi sendi utama Kebangsaan dan pilar utama KEINDONESIAAN ataukah menginginkan berakhirnya Kebangsaan dan berakhirnya KEINDONESIAAN .....
Jakarta, 30 September 2008
Penulis adalah Praktisi Politik di PDS
Oleh:
ML Denny Tewu, SE, MM
http://partaidamaisejahtera.com/forum.htm
Baca selengkapnya...